Islam tontonan, Masya Allah


Televisi Indonesia yang Islami


Seorang Ulama tua, hanya bisa prihatin, lalu bermunajat kepada Allah swt. "Tuhan, kini Islam yang kami lihat di media massa, bukan lagi Islam Tuntunan, tetapi Islam Tontonan?" Itulah munajat Kyai tua, dan tokoh Ulama yang barangkali mewakili ribuan suara Ulama dan Kyai di Indonesia, Prof KH Aly Yafi, ketika memperingati kemerdekaan RI menurut kalender Hijriyah, bertepatan di bulan suci Ramadlan lalu.

Selama bulan suci Ramadlan lalu, ada fenomena unik yang sangat menjemukan dan memuakkan. Pada sepertiga malam terakhir, biasanya ummat Islam sangat khusyu' beribadah, memohon ampunan, bertasbih, berdzikir dalam Qiyamullail serta tadarrus. Tetapi di televisi Indonesia lepas tengah malam, jutaan ummat Islam bangun, bukan untuk mengahadap Tuhan, tetapi untuk menghadap TV dengan berbagai pilihan channel acara Ramadlan. 

TV telah menjadi berhala baru bagi mereka, karena sesungguhnya bukan mereka mendalami agama atau mendengarkan ceramah para Ustadznya, namun hanya ingin menonton entertainment dalam jubah agama. Bahkan acara paling bermutu dari kajian Tafsir Al-Qur'an Prof Quraish Shihab, rating penontonnya paling rendah, padahal acara tersebut paling bermutu dari segi kualitasnya dibanding acara-acara lainnya.

Apakah Islam di negeri ini sudah banyak digiring dan ditentukan oleh para produser TV dan media massa? Bukan ditentukan alurnya oleh para Ulama? Apakah Islam harus mengikuti jalannya industri kapitalisme media, kemudian membangun imaje bahwa life style Islam adalah sebagaimana sosok-sosok di media itu? Politik media macam apakah yang telah merangsek ajaran Islam dan cakrawala Islam di negeri ini? Siapakah yang menjadi Imam ummat? Ulama? Artis? Mubaligh Panggungan? Ustadz Teaterikal? Selebritis? 

Merinding bulu kudhuk kita, ketika mendengar dan melihat fakta tontonan agama di media massa dan televisi Indonesia. Tetapi memang, agama paling empuk, paling ramai di pasar dunia, paling mudah untuk dimanupulasi, paling gampang untuk dagangan, paling kuat untuk dijadikan legitimasi apa pun, hingga cap halal haram untuk sebuah produk. 

Ini semua salah siapa? Apakah ummat mengalami kebosanan, kejenuhan, kehilangan simpati kepada para Ulamanya, para Ustadznya? Lalu beralih pada "Islam Hiburan, Islam Tontonan, Islam Tangisan, Islam Lawakan, Islam Horor, Islam Ruqyahan, Islam Kuburan, Islam Blatungan, Islam?" entah apalagi namanya, yang mengekploitir emosi penonton, untuk sebuah industri ketakutan dan kegembiraan.

Ataukah para kapitalis media sangat gemes dengan potensi empuk agama untuk dijadikan mesin uang? Barangkali saling kerjasama antara para ustadznya untuk saling menguntungkan melalui bisnis agama ini? Inilah yang disinggung sejak lama oleh Al-Ghazaly, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan zaman semacam ini pernah diprediksi Kanjeng Nabi SAW. 

"Nafsu dibalik kemaksiatan itu sudah jelas. Tetapi nafsu dibalik ketaatan (ibadah) itu tersembunyi. Terapinya sangat sulit, karena bedanya sangat tipis," kata Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam al-Hikam. Inilah yang pernah diperingatkan secara keras oleh Abul Hasan asy-Syadzily, seorang Sulthan Auliya di zamannya, ketika menafsiri ayat, "Rasul tidak pernah berkata dengan dorongan nafsu, melainkan karena wahyu yang diwahyukan?" maka, siapa pun jangan merasa senang manakala kata dan ucapannya di "iya"kan oleh pendengar, tetapi senanglah kalian kalau Allah meng"iya"kan hatimu.

Jika seorang penceramah, seorang Ustadz bicara di depan publik, dan publik menyambut dengan rasa simpati atas apa yang dikatakan Ustadz, lalu sang Ustadz gembira karena pandangannya mendapat dukungan, berarti sang Ustadz itu berbicara karena dorongan hawa nafsunya. Sang ustadz bukan gembira, karena Allah membenarkan kata-katanya, tetapi gembira karena pendengar membenarkan ucapannya.

Seluruh gerakan "Islam Tontonan" hanya mengekploitasi simpati penonton, pembenaran pemirsa, kesenangan pembaca, kenikmatan penyimak. Nafsu penonton, penyimak dan pemirsa, adalah ladang bagi industri komunikasi, apalagi agama, yang dianut oleh semua orang. 

Kita tidak usah terlalu menyudutkan media, karena memang media itu industri, yang ingin mengeruk keuntungan yang besar. Mari kita tengok para pelaku, para Ustadz, para sosok yang mewakili Islam disitu. Apakah mereka tidak risih dijadikan tontonan ummat? Dijadikan bahan tawaan ummat? Dijadikan pelampiasan emosi semu dari kegersangan ummat? Apakah mereka tidak pernah mendengar jika umat memunculkan sejumlah kata-kata, "Ayok kita nonton Ustadz A?. Ayuk kita nonton Aa' B, ayuk kita lihat Ustadz J, ?" Sama sekali tidak ada bau tuntunan dari kata yang terucap. Lalu sekian program dieksploitasi. Misalnya Ustadz A atau B atau J, bisa dijual segi kehidupan sehari-harinya, keluarganya, seni suaranya, deklamasinya, airmatanya, dan sebagainya.

Islam Tontonan juga telah memenuhi judul-judul sinetron. Seperti Rahasia Ilahi, Hidayah, Sakaratul Maut, Takdir Ilahi, Taubat, Misteri Dua Dunia, yang hampir mengaduk-aduk dunia kuburan untuk industri sineas ini. Islam begitu memuakkan dimata anak-anak, begitu mengerikan dan horror dimata orang luar, sedemikian memuntahkan dimata ummat sendiri. Lalu bermunculan Nama-nama Allah untuk dijadikan industri sineas, seperti Subhanallah, Allahu Akbar, Astaghfirullah?.dll.

Lalu Ruqyah, okh sangat memilukan. Apakah pemahaman ruqyah sebegitu dangkal seperti di media dan TV itu? Coba pemirsa melihat bagaimana anda menatap para peruqyah itu, apakah ada Cahaya Ilahi yang muncul dari keikhlasan jiwanya? Apakah Islami seperti tontonan Ruqyah itu? Itu Ruqyah atau Riya'ah? Islam Tontonan juga telah membangun imej, bahwa menjadi Ustadz, Da?i, Mubaligh, adalah karir dan professi, lalu muncullah perlombaan jadi Da?i, Pildacil, jangan-jangan ada lomba jadi Kyai...

Gara-gara Formalisme?

Menurut telaah, kenapa Islam Tontonan ini muncul begitu kuat? Sejak kata-kata Islam phobia mulai menyingkir di negeri ini, muncullah Islamisasi diberbagai bidang dalam landskap dan mosaik keseharian, saling tarik menarik antara kepentingan politik, kepentingan semangat agama, dan kebodohan akan agama itu sendiri yang merajai manusia-manusia kota yang konon lebih senang disebut manusia terpelajar.

Semangat formalisme Islam, membuat ummat Islam tergila-gila dengan lambang serba Islam, serba Syariat, jargon serba ummat, disatu sisi lebih merasa terpuaskan oleh rasa bangga, bila Islam ditonton oleh banyak orang, "Inilah Islam!". Tetapi, kita semua tahu, karena "Inilah Islam!" terorisme ada dimana-mana, Islam garis keras memanfaatkan momentum maksiat untuk bisa eksis di media massa. Kebiadaban atas nama Islam macam mana lagi ini? Bukankah kita hanya memetik kemunafikan demi kemunafikan ketika meneriakkan Islam sementara hati kita kosong, hati kita kering, jiwa kita sendiri yang sangat menjijikkan untuk divisualkan? Islam 

Tontonan adalah salah satu dari sekian teater Akhir Zaman Edan. Karena Islam Tontonan adalah wujud lain dari Riya' yang maniak, Riya' yang didukung teknologi, Riya' yang dibungkus nama-nama Tuhan, Riya' yang menumpuk sampah kebanggaan, Riya' yang membangun lapisan kebodohan, Riya' yang menghancurkan agama dari pahalanya dari dalam. Islam Tontonan hanyalah harum di permukaan, anyir dan membusuk dari batin di kedalaman. 

Islam Tontonan sesungguhnya adalah sampah, yang muncul dari limbah sejarah klarifikasi ad-Din al-Haq. Allah mengumpulkan limbah ini, agar mudah dibersihkan dari jiwa ummat. Islam tontonan sebagaimana dalam Al-Qur'an, "adalah mereka yang tersesat perjalanan hidupnya di dunia dan menduga apa yang mereka lakukan itu adalah perilaku yang baik." (Al-Kahfi)

Itulah tema paling mutakhir abad kita, Islam di tengah-tengah kelemahan para Ulamanya, para Ustadznya, para Kyainya, bertemu dengan kebodohan dan ketololan para ummat yang mengikutinya, lalu dijadikan industri empuk tontonan para kapitalisnya, Entertainment Nafsu Agama. Masya Allah!

No comments: