Sikap Islam Terhadap Pornoaksi

Tolak pornografi


Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS An-Nur, 24/31)

Ketahuilah wahai ikhwan wa akhwat fiLLAH –Semoga ALLAH SWT memuliakan antum dalam diin ini- bahwa Islam adalah Diin yang sempurna berdasarkan firman ALLAH SWT dalam Al-Qur'an[1], maka berbagai persoalan dalam kehidupan kemanusiaan dasar-dasarnya telah diberikan secara lengkap baik dalam Al-Qur'an maupun dalam As-Sunnah, tinggallah kita para da'i dan da'iyyah mempelajari hukumnya lalu mengamalkannya.

dalam ayat di atas ALLAH SWT menjelaskan tentang kaidah-kaidah dasar dalam mengatasi masalah pornoaksi dalam kehidupan manusia. Jika kita kaitkan ayat ini dengan ayat sebelumnya (munaasabaat bimaa qablahaa), maka nampak bahwa dalam permasalahan pornoaksi ini ALLAH SWT memerintahkan kepada kaum laki-laki 2 hal, yaitu hendaklah mereka (kaum laki-laki beriman) menundukkan pandangan mereka & menahan kemaluan mereka[2]. Sementara kepada wanita yang beriman, ALLAH SWT memerintahkan hukum yang lebih banyak untuk mengatasi masalah ini yaitu : 1) Menahan pandangan & kemaluan; 2) Menutup aurat, kecuali kepada yang bukan mahram, yaitu kepada 12 golongan saja (suami, ayah, mertua, anak kandung, anak tiri, saudara kandung, keponakan (dari saudara laki2), keponakan (dari saudara perempuan), wanita muslimah, hamba sahaya, pelayan & orang yang tidak memiliki syahwat lagi, anak-anak yang belum baligh; 3) Tidak bertingkahlaku yang dapat menimbulkan gairah syahwat.

Imam Ibnu Katsir rahimahuLLAH menyebutkan dalam tafsirnya[3] bhw sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini sebagaimana diceritakan oleh Muqatil bin Hayyan ia berkata : Telah sampai kepadaku –ALLAHu a'lam- dari Jabir bin AbdiLLAH al-Anshary bhw Asma' binti Murtsid adalah berkenaan dengan kunjungan sekelompok wanita ketika Asma binti Maurits radhiyaLLAHu 'anha sedang berada di sebuah rumah bani Haritsah, para wanita tersebut datang tanpa menutup auratnya, sehingga nampaklah betisnya serta perhiasan yang melingkari pergelangan kaki mereka, serta terbuka bagian atas dari dada serta leher-leher mereka, maka berkatalah Asma' : Tidak ada yang lebih menjijikkan dari (pemandangan) seperti ini! Maka ALLAH SWT menurunkan ayat tersebut di atas (membenarkan Asma').

Didahulukannya yaghdhudhna absharihinna (menundukkan pandangan) dari yahfazhna furujahunna (menjaga kemaluan) dalam ayat ini, menunjukkan bahwa berdosanya kemaluan biasanya dimulai dengan dosa yang dilakukan oleh kedua biji mata, oleh sebab itu maka kedua mata yang lebih dulu diperintah untuk ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan)[4]. Imam Al-Qurthubi menukil beberapa hadits juga yang memerintahkan orang2 beriman untuk menundukkan pandangan, diantaranya : "Pandangan mata itu salah satu anak panah Iblis, maka barangsiapa yang menundukkan pandangannya (dari melihat yang diharamkan ALLAH SWT –pen), maka ALLAH SWT akan memberikan manisnya iman di dalam hatinya. Pengarang tafsir Ad-Durrul Mantsur[5] mensitir hadits Nabi SAW yang melarang duduk-duduk di tepi jalan, kecuali jika mampu memenuhi hak jalan, yaitu menjawab salam, menundukkan pandangan, dan menunjukkan jalan pd orang yang tersesat.

Sementara arti illa maa zhahara minha (kecuali bagian tubuh yang biasa nampak), berkata Al-A'masy dari Ibnu Abbas radhiyaLLAHu 'anhuma : yaitu wajah dan 2 telapak tangan serta cincin (di jari tangan), demikianlah juga pendapat Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Abu Sya'tsa, Adh-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha'i, serta demikian pula pendapat jumhur ulama[6]. Imam An-Nasafi dalam tafsirnya menjelaskan[7] bhw istitsna' (pengecualian) dalam ayat tersebut menunjukkan bolehnya lelaki memandang wajah & 2 tapak tangan wanita ajnabiyyah (asing) sepanjang untuk mengenal & tidak melekatkan pandangan untuk menikmati, hal ini juga diperkuat oleh Imam Qurthubi bahwa lafaz min dalam kata min absharihim bermakna lit-tab'idh (menunjukkan sebagian)[8]. Lalu hendaklah mereka takut kepada ALLAH SWT jika sampai melakukan zina mata[9], karena DIA Maha Mengetahui lirikan mata yang khianat diantara kalian & apa yang kalian sembunyikan didalam hati kalian[10], oleh sebab itu sekalipun yang dilihat adalah bagian yang dibolehkan dilihat (wajah & 2 tapak tangan), jika untuk dinikmati maka tidak dibolehkan, karena Nabi SAW telah memalingkan wajah Al-Fadhl bin Abbas radhiyaLLAHu 'anhuma ke arah lain ketika sepupunya ini memandang lekat2 kepada seorang wanita dari suku Khats'am[11]

Adapun makna walyadhribna bikhumurihinna 'ala juyubihinna (hendaklah mereka melabuhkan kerudungnya sampai ke dada), maka maknanya adalah agar menutupi rambut dan leher demikian pula telinga sampai ke dada[12]. Adanya penjelasan batasan2 ini tujuannya adalah untuk menjelaskan perbedaan wanita muslimah dengan wanita jahiliyyah, dimana para wanita jahiliyyah Arab biasa menampakkan rambut, dada bagian atas, telinga serta tengkuk mereka. Ayat ini sejalan pula dengan ayat lainnya dalam Al-Qur'an yang selain memerintahkan menutup dengan kerudung juga menutup dengan baju yang panjang (jilbab) sehingga maknanya adalah agar kedua pakaian tersebut (kerudung & jilbab panjang) benar-benar menutup auratnya (tidak ada yang dikecualikan & tidak ada yang bisa tembus pandang/transparan)[13]

Kata-kata walyadhribna (melabuhkan) bermakna walyasydudna (bersungguh2 atau benar2), Imam Ibnu Katsir juga menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir & Abu Na'im dari Aisyah radhiyaLLAHu 'anha yang menyebutkan : "Semoga ALLAH SWT merahmati wanita muhajirat generasi pertama, karena begitu ALLAH SWT menurunkan ayat ini maka seketika itu juga mereka menutupkan apapun yang bisa menutupi mereka (tidak menunggu menjahit baju dulu, dsb –pen).[14]"  Hal ini sangat berbeda dengan sebagian wanita muslimah di zaman ini, yang ketika telah disampaikan tentang kewajiban berjilbab, maka masih ada diantara mereka yang mengemukakan berbagai alasan, sampai diantara mereka ada yang berkata : Saya menunggu datangnya hidayah ALLAH barulah akan berjilbab.. Atau kata-kata yang semisalnya, tidakkah mereka mengetahui bahwa hidayah tersebut haruslah dicari[15] & diusahakan dengan sungguh-sungguh barulah hidayah tersebut akan datang[16]?!

Berkaitan dengan ayat ini juga Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya[17] bahwa nabi SAW pun melarang terjadinya campur-baur antara lelaki dengan wanita (ikhthilath), sehingga beliau SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud memerintahkan agar ba'da shalat wanita muslimah tidak segera keluar dari mesjid untuk memberikan kesempatan kepada para kaum lelaki keluar & pulang lebih dahulu,  sehingga tidak ada percampuran diantara mereka. Dan terakhir ayat tersebut ditutup dengan perintah untuk bertaubat oleh ALLAH SWT atas berbagai pelanggaran dan maksiat yang telah dilakukan selama ini, semoga DIA mengampuni kita, karena dalam hadits Nabi SAW senantiasa beristighfar setiap hari lebih dari 70 kali & dalam riwayat lainnya 100 kali[18]. Dan Imam Al-Wahidi menambahkan[19] bhw makna watuubuu ilaLLAH tersebut adalah agar kaum muslimah kembali kepada hukum ALLAH SWT & mentaati apa yang diperintah & dilarang-NYA, yaitu dari semua adab yang telah diterangkan dalam ayat tersebut. ALLAHu a'lamu bish Shawab...

-------------------------------------------

[1] QS Al-Maidah, 5/3

[2] QS An-Nur, 24/30

[3] Tafsir Ibnu Katsir, III/378

[4] Tafsir Al-Qurthubi, XII/205

[5] Tafsir Durrul Manstur, VI/177

[6] Tafsir Ibnu Katsir, III/378, Tafsir Al-Baghawi I/32

[7] Tafsir An-Nasafi, III/143

[8] Tafsir Al-Qurthubi, XII/205

[9] Hadits shahih riwayat Muslim, dalam Tafsir Al-Qurthubi, XII/205

[10] QS Ghafir, 40/19

[11] Hadits Bukhari Muslim, dalam Tafsir Al-Qurthubi, XII/205

[12] Tafsir Ibnu Katsir, III/378

[13] QS Al-Ahzaab, 33/59

[14] Tafsir Ibnu Katsir, III/378, Tafsir Al-Baghawi I/32

[15] QS Ar-Ra'du, 13/11 

[16] QS Al-Ankabut, 29/69

[17] Tafsir Ibnu Katsir, III/378

[18] Tafsir Al-Baghawi I/32

[19] Tafsir Al-Wajiz, I/761

No comments: