Tayangan Televisi yang tidak mendidik

Televisi Online

Edisi : Keluarga
Oleh : Rachmad Aziz Mucharom, Ir.MM

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat tertegun oleh berita seorang bocah berusia lima tahun di Bekasi yang memukuli neneknya sampai tewas dengan tongkat. Komentar bocah ini sungguh mengejutkan, "Nenek aku pukul pakai tongkat karena tidur terus. Dia berdarah seperti bom Kuningan." Mungkin si bocah pernah melihat korban berdarah-darah akibat bom di Kuningan di tayangan televisi.

Lain lagi di India. Tiga anak tewas karena bermain hukuman gantung. Kejadian ini tidak jauh berselang setelah tayangan televisi India gencar memperlihatkan prosesi hukuman gantung seseorang yang bersalah membunuh anak berusia 14 tahun. Dan anak-anak itu menirunya.

Sebagai seorang ayah dari dua anak, saya mungkin tak dianggap golongan modern lantaran belakangan ini memutuskan untuk tidak memiliki televisi. Ya, televisi. Sebuah benda elektronik yang bisa menampilkan berbagai adegan. Mulai tangisan, pertengkaran, pembunuhan, pemerkosaan sampai makhluk ghaib. Bahkan film anak tidak luput dari kombinasi adegan tersebut yang terus disiarkan dari dini hari sampai tengah malam. Mau tak mau, aneka adegan itu terekam kuat dalam ingatan.

Saya memutuskan hal ini karena berbagai pengalaman dengan anak-anak saya. Saya pikir tayangan televisi yang baik untuk anak dalah tayangan tanpa kekerasan. Karena tayangan-tayangan tersebut saya sulit sekali mengajarkan kata-kata santun pada mereka, sementara tiap hari mereka menonton televisi. Seperti pengalaman saya dengan kedua anak saya. Suatu hari si sulung berkata, "Dasar bodoh..! Adiknya menyahut, Kubalas kau..! Tayangan Televisi yang tidak mendidik membuat anak-anak saya bersikap seperti itu. Sambil terheran-heran saya mendekati mereka. Saya rangkul mereka dan bertanya, Sayang, kata-kata tadi kalian dapat dari mana? Rasanya Bapak tidak pernah mengajarkannya?. Mereka diam saja. Karena tak dapat jawaban, saya cuma minta mereka tak mengulangi kata-kata semacam itu lagi.

Rasa penasaran itu akhirnya menemukan jawabannya. Ketika saya menemani mereka menonton film kartun, saya melihat dan mendengar film itu penuh dengan kata sumpah serapah. Ceritanya memang tentang ajang balap mobil, tapi adegan saling memusuhi dan menjatuhkan mendominasi film tersebut. Kata-katanya persis seperti yang diucapkan si sulung dan adiknya. Rupanya, mereka terimbas prilaku sang jagoan yang beraksi di televisi.

Sungguh, saya rindu pada media yang memberikan porsi terbesar pada ketauladanan, ilmu pengetahuan, berita-berita dan acara yang memotivasi diri untuk berbuat baik. Singkatnya, media yang ramah pada anak-anak. Media yang lebih bermutu, lebih sehat, santun, dan dapat membantu orang tua memberikan pendidikan terbaiknya.

Jika yang dicontohkan media, dalam hal ini televisi, adalah prilaku buruk, maka tak salah jika hasil penelitian menyimpulkan, Televisi lebih banyak menimbulkan dampak buruk bagi anak-anak. Selagi hasil penelitian itu belum berubah, saya memilih mengucapkan, "Selamat tinggal televisi!"

*Karyawan Telkom CISC

No comments: