Dulur, Setan Menggoda Sepakbola

Permainan Sepakbola


Taufik Wijaya - detikSport

Jakarta - Setahu saya, tidak satu pun kitab suci mengupas permainan sepakbola. Bukan itu saja, pada saat ini tidak satu pun negara di dunia ini yang meletakkan permainan sepakbola sebagai bagian dari dasar-dasar konstitusi mereka. Artinya, permainan sepakbola bukan seperti perempuan atau anak-anak yang hak-haknya perlu diperjuangkan atau dilindungi.

Namun, sesungguhnya, dewasa ini sepakbola telah menguasai sebagian waktu seorang manusia. Misalnya seorang penggila sepakbola akan menghabiskan waktunya buat menonton sepakbola minimal empat jam setiap pekan, baik secara langsung maupun dari siaran televisi.

Coba bandingkan waktu yang dihabiskan seorang muslim untuk salat. Seorang muslim rata-rata menghabiskan waktu selama 25 menit dalam melakukan lima jadwal salatnya dalam satu hari.

Bukan itu saja, sepakbola juga menyedot banyak biaya, mulai dari penonton, pemilik klub sepakbola hingga penyelenggara pertandingan.

Misalnya Stadion Gelora Sriwijaya di Jakabaring, Palembang, yang pembangunannya menelan biaya Rp50 miliar. Dana ini bila dijadikan biaya pendidikan, setidaknya dapat mencetak 100 doktor atau mencetak 1.000 sarjana atau 100.000 tamatan SLTA!

Buat seorang penggemar sepakbola, berapa pun biaya yang dikeluarkan pasti akan dipenuhinya. Dari membeli karcis, membeli t-shirt, membeli poster serta membeli pernik-pernik simbol pemain atau klub merupakan daftar belanjaan seorang penggila sepakbola.

Plus, saya juga sangat percaya, setiap kali pertandingan sepakbola digelar ada orang yang melakukan perjudian. Judi pemenang, judi sepak pojok, judi tendangan bebas, hingga judi kartu kuning atau kartu merah.

Lalu, pertanyaan kita; apa yang didapat dari sepakbola? Semua biaya dan waktu itu hanya buat menyaksikan sebuah bola diperebutkan 22 orang. Uniknya lagi, saat bola didapat bola itu kemudian disepak atau disundul kemudian dikejar lagi. Begitulah pekerjaan para pemain sepakbola selama 90 menit. Plus, para pemain sesekali berkelahi, marah, atau menangis.

Para pemain ini kemudian diberi gaji atau honor yang tidak kecil. Gaji mereka pun jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji seorang guru, dosen bahkan seorang pengarang, yang memeras otak selama bertahun-tahun membuat manusia menjadi cerdas atau mengetahui sesuatu yang selama ini tidak diketahuinya.

Raja Edward III dari Inggris pada abad ke-14 melarang rakyatnya bermain sepakbola. Titahnya: "Karena sering terjadi keributan di kota yang disebabkan oleh permainan sepakbola, yang menyulut berbagai bentuk kejahatan (evil), yang dilarang oleh Tuhan, kami memerintahkan dan melarang demi Raja, dengan ancaman hukuman."

Raja Edward III lebih menyukai rakyatnya latihan panahan untuk berperang, guna menghadapi ancaman serangan para musuhnya seperti Prancis.

Permainan sepakbola yang diyakini bermula dari sekelompok orang menendang kepala seorang perampok dari Denmark yang tertanggkap dan terbunuh di Inggris itu, dinilai pihak kerajaan Inggris suatu permainan yang sangat berbahaya dan kotor. Jadi, tidak heran seringkali rakyat Inggris saat itu ditangkap dan dihukum lantaran bermain sepakbola.

Anehnya, rakyat Inggris terus mempertahankan permainan ini. Jadi, tidak heran para raja selanjutnya terus membuat larangan bermain sepakbola. Seperti Ratu Elizabeth I yang menetapkan hukuman terhadap rakyatnya yang bermain sepakbola, seperti di penjara atau dikucilkan dari gereja.

Pada abad ke-17, larangan itu kian meningkat. Bukan hanya pemain yang dihukum, penontonnya pun demikian.

Nah, terlepas pada akhirnya sepakbola berkembang menjadi permainan yang lebih beradab atau fair, tuduhan Raja Edward III bahwa sepakbola dapat menyulut kekerasan yang dilarang Tuhan ada benarnya. Contoh di masa moderen ini yakni keributan antarpemain dan penonton antara pendukung El-Salvador dan Honduras dalam babak penyisihan Piala Dunia 1970 berakhir dengan perang kedua negara yang menewaskan ribuan orang.

Lalu, seperti juga ritual tahunan di Indonesia, setiap kali babak final Piala Liga Indonesia, akan terjadi kekerasan antarpendukung, terutama para pendukung klub-klub di Surabaya, Makasar, Jakarta, Bandung dan Malang. Contoh-contoh kekerasan lainnya dari sepakbola mungkin sering kita dengar atau baca.

Secara terminologi setan berasal dari kata "Syaithona" yang artinya jauh dari yang hak; atau siapa pun yang dirinya jauh dari yang hak atau kebenaran maka dinamakan setan.

Setan merupakan makhluk halus, kelompok bangsa rohani yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia kecuali atas izin Allah seperti yang dapat dilakukan para rasul. Sakin halusnya, setan dapat memasuki diri manusia termasuk peradaran darahnya, kecuali memasuki wilayah iman atai hati nurani manusia.

Dalam berbagai alkitab, setan dijelaskan paling suka dengan sifat-sifat tamak, kekerasan, munafik, berbohong, berdebat dan yang lebih penting bagi syetan seorang manusia lupa pada Tuhan dan kasih-Nya, terbuai dengan hawa nafsunya.

Dan, saya harap pada Juni 2006 ketika digelar turnamen sepakbola terbesar di dunia yakni Piala Dunia di Jerman, kita yang berada di Indonesia, khususnya para penggila pola sepakbola, jangan sampai tergoda setan. Sebab, sebagaimana sifat setan yang mampu masuk ke mana saja, termasuk ke dalam stadion sepakbola dan televisi, kita jangan kesetanan.

Misalnya kita jangan sampai menjual rumah buat berjudi, memukul istri yang terganggu oleh volume suara televisi, menangisi tim yang kalah melebihi rasa duka seperti jauh dari rasulallah, memuji para pemain sepakbola melebihi pujian pada Tuhan. Mungkin, tidak nikmat melepas nyawa di depan televisi ketika menyaksikan pertandingan sepakbola.

===

* Penulis adalah pekerja seni dan jurnalis, tinggal di Palembang.

Dikutip dari detiksport.com

No comments: