Ilham dan Hujjah



Syubhat bahwa Ilham dapat dijadikan Hujjah menurut sebagian kaum Sufi berikut bantahannya menurut para ulama Ahlus-Sunnah

Oleh :  Fadhilatu Syaikh, DR Yusuf Al-Qaradhawi[1]
  
Hujjah para ulama Ahlus-Sunnah
  
Telah disebutkan bhw pendapat Jumhur ulama Ahlus-sunnah bahwa : Ilham tidak dapat diamalkan kecuali tidak terdapat Hujjah sama sekali dan hanya menyangkut hal-hal yang Mubah saja.
  
Al Imam Ad Dabusi -rahimahuLLAAH- berkata[2] : "Hujjah Ahli Sunnah tentang tidak bolehnya berdalil dengan ilham dlm menentukan hukum adalah ayat2 dan nash2 yg menuntut hujjah, seperti Firman ALLAH SWT:
"Katakanlah : Datangkanlah bukti-bukti kamu sekalian, jika kamu sekalian orang-orang yang benar!" [3]
  
"Kabarkanlah kepadaku berdasarkan ilmu, jika kalian adalah orang-orang yang benar."[4]
"Katakanlah : Apakah kalian memiliki ilmu sehingga bisa mengemukakannnya pada kami, sesungguhnya apa yang kalian ikuti itu hanyalah persangkaan saja dan tidaklah kalian kecuali hanya mengada-ngada."[5]
  
Selanjutnya ia (Ad-Dabusi rahimahuLLAAH) menambahkan bhw apa-apa yang terlintas dalam hati manusia (berupa ilham, dsb) itu terkadang datang dari ALLAH SWT, terkadang dari Syaithan dan terkadang pula dari nafsu manusia, sementara sesuatu yang mengandung ketidakpastian tidak bisa dikatakan sebagai kebenaran[6].
  
Bagaimana mungkin manusia yang tidak ma'shum bisa membedakan antara bisikan Malaikat dengan bisikan Syaithan? Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa bisikan dari ALLAH bersifat tenang dan tidak goncang, sedang dari Syaithan tidak demikian, akan tetapi pembedaan ini membutuhkan dalil syariat. Maka perkataan yg benar adalah dari Ibnu Sam'an : 
"Sesungguhnya tiap hal yang didasarkan atas syariat Muhammad & tidak ada ayat atau hadits yang menolaknya maka bisa diterima, dan jika tidak demikian maka tertolak dan terjadi lantaran waswasah-nafsiyyah atau waswasah minasy-syaithan."

Selanjutnya beliau menyimpulkan : "Kami tidak mengingkari bahwa ALLAH mengkaruniai hamba-NYA dengan tambahan cahaya-NYA, yang membuat penglihatannya (bashirah) semakin tajam dan pendapatnya semakin mendekati kebenaran (karena hal ini disebutkan dlm dalil-dalil shahih -pen). Akan tetapi kami mengingkari jika ia menyandarkan kepada hatinya tentang suatu pendapat yang tidak diketahui sumbernya. Kamipun tidak menganggapnya sebagai hujjah, tetapi ia adalah cahaya yang dikhususkan ALLAH SWT kepada siapa yang dikehendaki-NYA diantara hamba-NYA dan jikapun hal tersebut sesuai dengan syariat maka yang dijadikan hujjah adalah tetap hukum syariat."[7]
Imam Al-'Allamah Al-Fanari -rahimahuLLAH- menyebutkan[8] ada 4 hal yang membatalkan prasangka bahwa ilham dapat dijadikan hujjah, sbb :
 1.       Bahwa ilham tersebut dapat ditentang oleh ilham yang lain, maksudnya bahwa jika Zaid berhujjah dengan ilhamnya, lalu ia ditentang oleh 'Amr dengan ilhamnya yang lain, lalu mana yang benar? Padahal tidak ada kelebihan antara satu dari keduanya.
2.       Bhw ia bisa bercampur dg bisikan-bisikan yang tidak diketahui asal-muasalnya, maka jalan keluarnya adalah hanya KitabuLLAH dan Hadits yang shahih, jika hadits saja yg bertentangan dengan KitabuLLAH (dan hadits yang lebih shahih -pen) harus ditolak, maka menolak selain hadits adalah lebih layak.
3.       ALLAH SWT berfirman : "Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentangnya.[9]" Juga ayat-ayat lainnya yang menyeru untuk mencari hujjah, mendorong untuk meneliti & menolak taqlid kepada nenek-moyang, atau taat kepada pembesar dan yang semisalnya.
4.       Berdalil kepada kesepakatan tentang tidak bolehnya menerima 
perkataan seorang rasulpun kecuali setelah ditampakkan mu'jizatnya, jika tidak maka Nabi/Rasul tersebut sama dengan peramal, sedangkan menerima perkataan peramal adalah sebuah kekufuran[10].
Beberapa dalil yang dikeumakan oleh orang-orang yang berHujjah dengan Ilham berikut kesalahannya

Hadits Nabi SAW kepada Wabishah bin Ma'bad ra : 

  
"Wahai Wabishah, minta fatwalah pada hatimu, kebaikan itu menentramkan hatimu sedangkan dosa itu membuatmu tidak tenang, meskipun para pemberi fatwa memberikan fatwa kepadamu.[11]"
  
Dan juga hadits-hadits yang semakna[12], berdalil dg hadits ini dengan menafsirkannya boleh berdalil dengan ilham adalah bathil, karena ia sangat jauh dari asbabul-wurud hadits ini dan makna yang dikandungnya, sbb :
  
1.       Al-Munawi menukil bhw hadits itu turun berkenaan dengan kejadian yang dialami Wabishah ra yang terjadi pd dirinya, sehingga hadits tersebut tidak menggunakan lafazh yg bersifat umum, maka tidak bisa diambil kaidah yang umum pula sebagaimana diakui para ahli ushul-fiqh[13].
  
2.       Jikapun ada yang mengatakan bhw ia bisa diberlakukan umum, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang tidak ada nash syar'inya (perkara mubah), karena ia tidak boleh bertentangan dengan dalil2--dalil lain yang lebih kuat & shahih, seperti : 
   
".. maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.[14]"
       Bagaimana mungkin ALLAH SWT mewajibkan kita untuk bertanya kepada para ahli ilmu, jika jawaban mereka kita tinggalkan & kembali pada fatwa kita sendiri. Dlm firman-NYA yg lain : 

".. dan jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada ALLAH & Rasul-NYA, jika kalian beriman pada ALLAH & Hari Akhir, yang demikian itu lebih utama & lebih baik bagi kalian.[15]"
  
Dalam ayat tersebut ALLAH tidak berfirman : "Kembalikanlah pada apa yang terlintas dalam hatimu dan bisikan-bisikan hatimu, tetapi kembalilah pada KitabuLLAH dan 
As-Sunnah."
  
3.       Tentang hadits Wabishah tersebut, Ibnu Rajab mengatakan : "Hadits tersebut dan hadits yang semakna dengannya menunjukkan bahwa kembali kepada hati itu 
adalah dlm hal-hal yang syubhat, jika hati merasa tenang dan lapang maka semoga itu merupakan kebaikan, sedangkan jika tidak maka itu merupakan dosa yang harus dijauhi." Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan rasa bersalah, sempit & resah dan tidak mau terlihat oleh orang lain. Ini adalah tingkatan tertinggi untuk mengetahui suatu dosa pada saat terjadi syubhat (ketidakjelasan), semakna dengan ini Ibnu Mas'ud berkata : "Apa yang dipandang baik oleh kaum mu'minin akan baik pula disisi ALLAH, dan apa yang dipandang jelek oleh kaum mu'minin maka akan jelek pula disisi ALLAH.[16]?
  
4.       Maka sekali lagi bahwa sesuatu yang ada nash-nya maka tidak ada jalan lain bagi seorang mu'min kecuali harus kembali kepada nash Al-Kitab & As-Sunnah dan tidak boleh berpegang kepada selainnya, sebagaimana firman-NYA : 
  
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.[17]"
  
Hendaklah hal tersebut diterimanya dengan lapang dada (ridha) dan suka cita, tanpa rasa berat dan tanpa rasa tidak puas dan yang semisalnya, karena sifat tersebut (menerima dengan berat, dongkol, tidak puas) sangat tercela dalam Al-Qur'an, firman-NYA :
"Maka demi RABB-mu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (wahai Muhammad) sebagai Hakim atas apa yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka tentang apa yang kau putuskan, & mereka menerima dengan sepenuhnya.[18]"
  
5.       Adapun jika sesuatu tersebut tidak ada nash-nya dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau dari para sahabat & ulama salaf yang dapat dijadikan 
hujjah, maka jika kaum mu'minin tidak menemukan orang yang memberi fatwa, atau ada yang memberi fatwa tetapi ilmu & agamanya tidak dipercayanya, maka dalam hal ini bolehlah ia kembali pada apa yang membuat dadanya tentram, hal ini juga pendapat Imam Ahmad[19].
 6.       Al-Allamah Asy-Syaukani menambahkan arti lain dari hadits tersebut, bahwa hal itu berlaku jika didapatkan dalil-dalil yang bertentangan[20]. Maksudnya adalah jika ada dalil-dalil yang saling bertentangan & tidak ada murajjih (dalil yang lbh kuat), maka hati seorang mu'min dan fatwa hatinya adalah suatu yang menguatkan. Imam Al-Ghazali menambahkan bhw tidak semua hati dapat dijadikan sandaran, sebab ada hati yang senantiasa waswas hingga menafikan apapun, ada pula hati yang selalu menerima dan menganggap enteng apa saja yang dikehendakinya, maka hati yang dapat dijadikan sandaran tersebut adalah hati yang bersih & tenang (muthma'innah) yang dengannya diuji segala perkara, namun betapa jarangnya hati yang seperti ini[21].
  
WaLLAAHu a'lamu bish Shawaab...
 Nabiel Al Mustawa/milis ikhwan
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Disarikan dari kitab Syaikh Al-Qaradhawi berjudul Mauqif al-Islam minal Ilham wal Kasyf war Ru'a wa minat Tama'imi wal Kahanah war Ruqa', Maktabah Wahbah, 1415-H, Al-Qahirah Mishr.
[2] Lih. Fathul Bari', XVI/44, Maktabah Musthafa Al-Halabi
[3] QS Al-Baqarah, 2/111; Aku (Abi AbduLLAAH Nabil Al-Musawa) berkata : Letak kehujjahan berdalil dengan ayat ini adalah konteks ayat berbicara tentang  masalah kegaiban (masuk Jannah), tetapi ALLAH SWT meminta mereka mengemukakan bukti-bukti/hujjah, maka apatah lagi dalam masalah hukum-hukum syari'at, lih. Juga tafsir At-Thabari, II/509 dan Ibnu Katsir, I/385.
[4] QS Al-An'aam, 6/143; berkata Ibnu Katsir tentang maknanya : Kabarkanlah kepadaku dengan keyakinan (bukan dugaan), lih. Tafsir Al-Azhim, III/351. Berkata Imam Abu Ja'far dlm tafsirnya (XII/185) : "Sungguh ini adalah pemberitahuan dari ALLAH SWT kepada Nabi-NYA bhw apa yang dikatakan oleh musyrikin tersebut semuanya adalah kedustaan." Aku tambahkan : Karena mereka tidak mendasarkannya kepada hujjah yang jelas dari Kitab mereka.
[5] QS Al-An'aam, 6/148; Aku menambahkan : Penjelasan atas ayat  ini serupa dengan tafsir QS Al-Baqarah, 2/111 sebelumnya karena konteks (khithob) nya masih berkaitan dg aqidah, Imam Al-Qurthubi berkata dlm tafsirnya (I/2047) bhw maknanya :  í Ú䏟㠏᭡ ڡ ä 吇 ߐǿ (Yaitu : Apakah ada dalil darimu tentang bahwa hal ini adalah demikian hukumnya?); sementara Imam -Muhyis Sunnah- Al-Baghawi (iii/202) menafsirkan ilmu dalam ayat itu 
sbg :  ߊLj 捌ɠ㤠ǡᥠ(Kitab & Hujjah dari sisi ALLAH).
 [6] Lih. Fathul Bari', XVI/44, Maktabah Musthafa Al-Halabi 
 [7] Ibid
 [8] Fushulul Bada'i fii Ushulis Syara'i, Al-Fanari, II/391
 [9] QS Al-Israa', 17/36
 [10] Saya menambahkan : Demikian pula oleh dalil-dalil shahih kita dilarang untuk datang pada paranormal ('arraf), dukun (kahin) dll, dan membedakan antara mana ilham yang benar dan mana yg paranormal sangat sulit, maka jalan keluarnya adalah hanya dengan tidak menerima hujjah lain kecuali dari Kitab was-Sunnah.
 [11] HR Ahmad, IV/228; Ad-Darimi, II/245 & 246; Abu Ya'la no. 1856-1857; At-Thabrani XXII/403. Hadits ini di-hasan-kan oleh An-Nawawi dlm Riyadhus-Shalihin dan Al-Arba'in no. 27 (II/93) terbitan Ar-Risalah, juga di-hasan-kan oleh As-Suyuthi dlm Jami' Shaghir dan disepakati oleh Albani dlm Shahih Jami'. Saya berkata : Bahkan hadits ini juga di-takhrij- oleh selainnya, seperti Al-Baihaqi, dlm Ad-Dala'il, VII/50 no. 2550 dan Imam Nawawi dlm Al-Adzkar, I/408 no. 1249.
 [12] Seperti hadits Tsa'labah Al-Kasy'ani ra (Ahmad IV/194, Suyuthi II/95, Ibnu Rajab berpendapat sanadnya jayyid); Juga hadits Umamah ra, Ibnu Rajab menyatakan hadits tsb diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban dan sand-nya sesuai syarat Muslim.
 [13] Faidhul Qadir, I/495
 [14] QS An-Nahl, 16/43
 [15] QS An-Nisaa', 4/59
 [16] Al Haitsami mencantumkannya dlm bab Hajji (I/177-178), ia mengatakan bhw hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar & Thabrani (dlm Al-Kabir) dan para perawinya kuat, disahkan oleh Al-Hakim (III/78-79) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
 [17] QS Al-Ahzab, 33/36
 [18] QS An-Nisa', 4/65
 [19] Jami'ul Ulum wal Hikam, II/101-103, terbitan Ar-Risalah
 [20] Irsyadul Fuhul, hal. 249
 [21] Ibid, hal.249

No comments: