Sensitifnya Arah Kiblat

Arah Kiblat


Usep Fathudin

Mantan Staf Khusus Menteri Agama


Percayakah Anda bahwa pada umumnya kita, umat Islam kurang begitu peduli, apakah arah kiblat dalam shalat kita sudah benar? Mungkin dalam hati kita terbersit sekilas keyakinan bahwa masalah ini sudah dibicarakan oleh para ahlinya, sebelum sebuah masjid dibangun. Kita menjadi merasa tidak perlu mempertanyakan kesahihan kiblat suatu masjid. Bahkan bisa kita simpulkan, hatta para pengurus suatu masjid, bahkan masjid besar sekalipun, mempunyai sikap yang sama, tidak peduli.

Satu di antara dalil yang membuat kita kurang peduli, barangkali karena memang kita tidak diwajibkan untuk persis 100 persen menghadap kiblat di dalam shalat kita. Ayat Alquran yang sering menjadi dalil dalam hal ini adalah Surat Al Baqarah ayat 144, yang memerintahkan kita untuk shalat ke arah kiblat. Kata-kata 'ke arah', ditafsirkan sebagai usaha maksimal mengarahkan shalat kita ke Masjidil Haram, di Makkah. Sebab betapa pun kita shalat mengarah kiblat, ketika tanpa sengaja bergeser 1 cm di tempat kita shalat, itu berarti bisa bergeser hingga 100 km ketika ditarik terus ke arah kiblat.


Kisah kecil

Adalah arah kiblat masjid Al Mukhlishun di Griya Depok Asri, Depok Tengah yang mulai memicu masalah ini untuk saya diskusikan. Masjid kompleks ini berdiri tahun 2001. Arah kiblat ditentukan menggunakan suatu kompas kecil berbahasa Inggris, dengan tulisan Latin dan Arab, tanpa tahun. Di situ tertulis bahwa untuk Jakarta (dan sebagian besar kota di Indonesia), arah utaranya harus menunjuk angka 9. Dengan jarum kompas mengarah tepat ke angka 9, arah itu ditunjuk kompas sebagai kiblat. Bagaimana terjadinya Jakarta dan hampir seluruh Indonesia berada pada angka 9, hanya para ahli yang memahaminya.


Belakangan ada seorang jamaah mempermasalahkan arah ini. Jamaah ini seorang insinyur, yang setahun ini relatif setia shalat di masjid. Tetapi kemudian ia menemukan satu peta dunia dengan judul US/UK World Magnetic Chart -Rpoch 2000 Declination- Main Field (D). Di situ digambarkan bahwa Indonesia berada pada garis O, dan kalau ditarik garis lurus ke barat, maka menurut penghitungan ini arah kiblat masjid yang sekarang ini menuju ke Tanzania atau Zanzibar di Afrika Timur. Dia dan putera-puteranya pun memilih shalat di rumah.

Atas dasar 'gugatan' seorang jamaah ini, Sekretaris takmir, mengambil inisiatif mengadakan pengumpulan data kiblat di wilayah Depok Tengah dan Depok Timur yang meliputi tujuh masjid. Dari data yang diperolehnya, ditemukan bahwa lima masjid mengambil arah pada kompas dengan angka 9 (sembilan), dan dua masjid mengambil arah utara pada angka 75 (7,5).

Saat umrah tahun 2003 saya sempat membeli beberapa buah kompas (satu jenis). Cetakannya memang berbeda dengan cetakan buku kompas yang digunakan untuk mengukur arah kiblat di masjid kompeks Griya Asri. Demikian juga bentuk kompasnya. Di situ tertulis sangat jelas bahwa Jakarta dan sekitarnya sampai Sukabumi, untuk kiblat, angka pada kompas harus menunjuk 75 (7,5).

Pada Ahad (16/7), sehabis shalat magrib, insinyur tadi diundang untuk mempresentasikan pendapatnya, dilengkapi dengan globe yang cukup besar. Pada intinya ia menunjukkan bahwa kiblat masjid, sebagaimana juga kiblat lima masjid lainnya yang disurvei, dianggap keliru, karena tidak mengarah ke Makkah, tetapi ke Afrika Timur, jauh di bawah Mesir.

Presentasi dan tanya jawab berakhir lima menit sebelum waktu 'Isya dan ia pamit. Saya minta ia ikut shalat dulu bersama-sama, tapi ia menolak karena merasa kiblat masjid ini tidak tepat. Atas dasar pengalaman ini, saya minta izin jamaah untuk mengadakan dialog dengan MUI Pusat, Pengurus Masjid Istiqlal, dan Departemen Agama.


Depag harus berperan

Senin (17/7), sebelum pukul 12.00 WIB saya datangi MUI Pusat dan berharap bertemu ketua Majlis Fatwa atau pejabat majelis lainnya. Sayang tidak ada seorang pun masuk kantor. Saya bertemu dengan seorang staf, yang sudah sangat senior yang bekerja sejak awal berdirinya MUI. Ia memberitahukan bahwa MUI tidak mempunyai data atau keterlibatan dalam hal ukur-mengukur kiblat. Saya disarankan ke Direktorat Urusan Agama Islam, Departemen Agama.


Usai Dzuhur bersama-sama jamaah Istiqlal, saya berbicara dengan sekretaris Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI), Subandi. Ternyata yang bersangkutan tidak mengetahui masalah ini dan saya disarankan ke Bagian Takmir. Sebelum itu saya mengambil inisiatif mengukur arah kiblat Masjid Istiqlal. Ternyata arah kiblat Istiqlal bukan 9 dan bukan 7.5 melainkan 8,5.

Sub Direktorat Kemasjidan yang selama ini berwenang mengelola masalah kiblat di masjid-masjid sudah berubah fungsi. Khusus masalah kiblat masuk dalam wewenang Subdit Rukyat dan Hisab. Seorang pejabat yang baru diangkat tiga bulan, semula sebagai dosen UIN Yogyakarta, tidak tahu apa-apa tentang kiblat Istiqlal. Tapi ia menegaskan bahwa masalah kiblat ini harus diadakan pengukuran kembali dengan teodolit, alat yang banyak digunakan orang agraria.

Pukul 14.00 WIB, saya terdampar di ruang Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Nazaruddin Umar, yang juga kolega ketika saya di Yayasan Wakaf Paramadina. Karena ada tamu, saya harus menunggu untuk bisa bertemu Nazaruddin Umar dan kemudian saya menelepon Dirjen Peradilan Agama, Wahyu Widiada, untuk minta waktu mau singgah. Dulu, dialah yang selalu membacakan Keputusan Menteri Agama tentang awal Ramadhan, hari Idul Fitri, dan ia memang ahlinya. Ternyata ia juga menyarankan agar diadakan pengukuran dengan teodolit. 

Walaupun begitu, dari tiga fakta di atas (9, 8,5, dan 7,5) Dirjen lebih cenderung kepada angka 7,5 atau 75 di dalam kompas. Begitulah fakta tentang kiblat kita. Bagaimana masjid-masjid lainnya? Dan hari berikutnya, 18 Juli saya berada di kantor Jakarta Islamic Center, Tanjung Priok. Masjid Pemerintah DKI Jakarta yang terletak di atas lahan eks kompleks prostitusi Kramat Tunggak ini besarnya menduduki rangking dua setelah Istiqlal. Di depan tempat imam, dengan disaksikan seorang staf takmir, saya letakkan kompas saya, dan ternyata angkanya sama dengan Istiqlal, yakni 8,5.

Sedikitnya, ada tiga model arah kiblat, yaitu model dengan angka 9, angka 8.5, dan angka 7.5. Mana yang benar dari tiga angka tersebut? Barangkali umat Islam, khususnya Departemen Agama, dalam hal ini Dirjen Bimas Islam perlu memelopori diskusi dengan para ahli soal arah kiblat.

No comments: