Seri : Fiqih
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak
tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan
sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak
sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah
yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami
berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang
dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj:
34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis
hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya
tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga
10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu
keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya
banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya
dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh
karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu
anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2
untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu
dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan
seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum
menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak
berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Al Irwa’ 4/349).
Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban,
mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi
untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…”adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan
kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari
maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak
membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka
diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di
sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.
Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak
dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang.
Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhu beliau
mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul
Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan
untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam
masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing.
Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban
masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah
hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di
antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan
At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)
(*)
Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang
yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan
sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu
Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا
خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut)
(QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh
Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net
di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no.
7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan
Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya
diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara
berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat
dekat.”
(lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn
Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas
tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan
dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah
dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang.
Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada
qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang
yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita
golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah
dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi
dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada
beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari
kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka
menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh
Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana
kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba
tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan
dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi
namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah
jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang
dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa
pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau
hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan
di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan
latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari
qurban.
Apakah ini bisa dinilai
sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu
ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan
oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah
qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah
pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing
hanya boleh diambilkan dari satu orang.
Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat
dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
· Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama
namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara
keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala
qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
· Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada
wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu
hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas
nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 &
1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai
satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat
bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau
lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
· Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit
pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal.
Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil
dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn
Utsaimin51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali
musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh
menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah
adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
|
Hewan
|
Umur minimal
|
1.
|
Onta
|
5
tahun
|
2.
|
Sapi
|
2
tahun
|
3.
|
Kambing jawa
|
1
tahun
|
4.
|
Domba/ kambing gembel
|
6 bulan
(domba Jadza’ah)
|
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat
hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
· Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya
belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada
hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh
diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah
menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk
hewan yang buta sebelah matanya.
· Sakit dan tampak sekali sakitnya.
· Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan
tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa
berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
· Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah
dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban.
(lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
· Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
· Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat
yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun
kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang
tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban.
Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa
yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan
tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih
oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya
ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis
cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat
sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan
berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk
pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis
kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan
yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj:
32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan
untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan,“Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan
yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu
adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari
secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka
menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta,
kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung
satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya
oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhutentang budak yang
lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan
pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu
Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu
kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing
manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458).
Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
· Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu
ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
· Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika
hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga
sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
· Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam
berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim
(lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun
pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan
dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan
qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan
anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900
& An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini,
Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah
berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun
umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina.
Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.