Seri : Aqidah
Ibadah haji adalah ibadah yang teramat mulia. Sungguh amat
sulit untuk saat ini berangkat langsung dari tanah air karena antrian yang
saking panjangnya. Namun demikian antusias orang di negeri kita di mana mereka
amat merindukan ka’bah di tanah suci. Sampai-sampai berbagai cara ditempuh dan
dijalani untuk bisa ke sana meskipun dengan cara yang tidak Allah ridhoi.
Selain itu tidak sedikit yang niatnya untuk selain Allah, hanya ingin mencari
gelar. Label pak Haji-lah yang ingin disandang bukanlah ridho dan pahala dari
Allah yang dicari. Sampai-sampai ada yang mengharuskan di depan namanya harus
dilabeli gelar “H”.
Keutamaan
Haji Mabrur
Haji
adalah amalan yang teramat mulia. Sampai-sampai yang berhaji disebut dengan
tamu Allah dan apa saja yang mereka panjatkan pada-Nya mudah diperkenankan.
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ
وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan
Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah
memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka
meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR.
Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Amalan
haji terutama haji mabrur termasuk dalam jajaran amalan yang paling afdhol.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ
الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا
قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ
»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi,
“Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di
jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Bukhari no. 1519)
Dan
haji pun termasuk jihad. Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ
الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
»
“Wahai Rasulullah, kami
memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami
harus berjihad? “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. (HR.
Bukhari no. 1520)
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan,
“Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad
dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah
memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan
badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam
haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji
lebih afdhol’.” (Lathoif Al Ma’arif, 403)
Balasan
bagi haji mabrur adalah surga, ini sungguh balasan yang luar biasa. Dari Abu
Hurairah, Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ
الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada
balasan yang pantas baginya selain surga.”
(HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Apa
itu Haji Mabrur?
Al
Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
“Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia
dan merindukan akherat.”
Al
Qurthubi rahimahullah menyimpulkan,
“Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan
manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.” (Tafsir Al
Qurthubi, 2/408)
An
Nawawi rahimahullah berkata,
“Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji
yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata ‘birr’ yang
bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang
diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan
menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan
diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur
adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat
bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat
yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.” (Syarh Shahih
Muslim, 9/118-119)
Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada
haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar
riya’, bukan ingin mencari pujian, bukan ingin disebut “Pak Haji”.
Ikhlaslah
dalam Ibadah
Dalam setiap ibadah kita diperintahkan untuk ikhlas di
dalamnya. Kita diperintahkan beribadah untuk mengharap wajah Allah dan
mengharap ridho-Nya. Jika kita beribadah malah ingin mencari pujian, maka jadi
sia-sialah ibadah tersebut. Termasuk di dalamnya menunaikan haji hanya ingin
mencari gelar pak Haji, segala pengorbanan yang kita tumpahkan dari sisi biaya
maupun tenaga, itu jadi tidak bernilai apa-apa. Perintah Allah untuk ikhlas
sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah
pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba apakah ia ikhlas
ataukah ingin cari muka di hadapan manusia dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ
يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Katakanlah: “Jika kamu
menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah
mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’
atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan
(Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az
Zumar: 65)
Dalam
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia
dalam sabdanya,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ
وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala
berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik.
Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi
mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang
menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang
dia tujukan untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan
menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud
demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan
batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh
Shahih Muslim, 18/116). Artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari
gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada
Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan
dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51)
Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik
disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin
cari pujian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ
الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai
hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka
menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no.
2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita
menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil).
Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An
Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya
disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata,
“Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan
kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal
adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil dari Ta’thirul
Anfas min Haditsil Ikhlas).
Imam Al Ghozali mengatakan,
“Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji
karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yang dapat
menghapus amalan.
No comments:
Post a Comment